Soal Keistimewaan Yogyakarta

Polemik mengenai RUU Keistimewaan Yogyakarta semakin meruncing pasca pidato Presiden SBY. Sebagaimana pidato tersebut, presiden menyatakan bahwa dalam demokrasi maka sistem monarki bertentangan dengan sistem dan nilai demokrasi.

Pada prinsipnya bahwa demokrasi adalah mengakui dan menjunjung tinggi persamaan hak dan kewajiban setiap warga negara dalam hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Demokrasi menghendaki suatu sistem nilai yang berlandaskan kepada prinsip kesetaraan (egaliter).

Berkaitan dengan polemik yang saat ini ramai diberitakan media massa, sesungguhnya jika saja Raja Ngajogjakarta memiliki kebesaran jiwa dan ketulusan untuk mewujudkan demokrasi maka tanpa perlu perdebatan panjang persoalan ini dapat segera terselesaikan, yakni menyerahkan kekuasaan kepada kedaulatan rakyat.
Mungkin, untuk menyerahkan "kekuasaan" kepada kedaulatan rakyat masih menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan oleh sang raja.

Cita-cita Indonesia adalah melepaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme penjajah dan membebaskan rakyat dari feodalisme.

Perlu kedewasaan menyikapi polemik ini dan perlu pendekatan sosiologis dalam kerangka mewujudkan demokrasi yang bersandar pada kerakyatan.

Sebagaimana tulisan Moh. Hatta pada tahun 1968 dalam Pendidikan Nasional Indonesia bahwa kebangsaan yang kita junjung bukanlah kebangsaan yang bersandar kepada keningratan (bangsawan), bukan pula kebangsaan yang bersandar kepada intelektual melainkan kebangsaan yang bersandar kepada kerakyatan dimana rakyat berhak menentukan nasibnya sendiri.

No comments:

Post a Comment