MAJU ATAU ....

Ada yang harus dipertahankan ada juga yang harus dilepaskan. Ia akan menjadi sejarah atau hanya sekedar ‘hasutan’ semata.


Keadaan bangsa ini begitu menyedihkan!!! Korupsi, harga kebutuhan pokok menjulang tinggi, gizi buruk, karena tekanan ekonomi sebagian rakyat mengambil jalan pintas untuk mengakhiri tekanan hidup dengan cara bunuh diri massal (keluarga).


Kemana arah bangsa ini?! Hal ini juga yang menjadi pokok pembicaraan oleh dua orang ‘tamu’ ku dirumah. Entah hanya retorika semata atau mereka memang memiliki kepedulian terhadap nasib berjuta rakyat.


Wacana ini berkembang dalam diskusi yang pada akhirnya meminta agar aku mau dicalonkan untuk menjadi anggota perwakilan rakyat di tingkat daerah melalui sebuah partai besar dan mapan.


Jujur saja, saat ini kondisi tubuhku sedang tidak memungkinkan untuk menjawab dan meneruskan proses diskusi serta menentukan sikap untuk pencalonan tadi. Sebisa mungkin ku jawab : ‘berikan saya waktu untuk mempertimbangkan tawaran tadi”. Sudah kupaparkan bahwa secara finansial aku tak sanggup untuk menempuh proses pencalonan hingga pemilihan, mereka menjawab bahwa aku tak perlu sibuk dan memikirkan logistik (finansial), segala sesuatu akan dipersiapkan asalkan aku mau di calonkan. Emmm.. jangan-jangan ada sesuatu dibalik semua ini?. Akan aku telusuri apakah ini benar-benar tulus untuk rakyat ataukah ada sesuatu diantara kekuasaan yang akan datang?

"PENJAJAH" BERSERAGAM

Sejak beberapa hari yang lalu hingga hari ini terasa begitu melelahkan. Mendengar seorang teman mendapat ancaman bahkan menjurus kearah kekerasan, lalu berikutnya disusul oleh datangnya kabar dari kerabat mengenai upaya pemerasan yang dilakukan oleh aparat hukum. Ya.... cukup melelahkan, lelah menghadapi situasi untuk melawan ‘ penjajah’ beratribut, berkedok penjaga rakyat.

Ini harus dituntaskan!!!.


Inilah ironi, hidup didalam negara hukum namun hukum hanya menjadi hiasan semata. Mengapa hiasan? Mereka yang menjadi aparatur hukum sebagian besar tidak menjiwai, tidak sadar (jika tidak mau disebut gila!), tidak memahami tugas pokok dan fungsi serta kewajiban profesinya. Apakah ini kesalahan institusi penegak hukum dalam melakukan rekrutmen, pembinaan, dan pemberian sanksi?.


Lupakan pertanyaan tadi, karena sulit bagi kita untuk menjawab bahwa perbuatan dan sikap aparat penegak hukum yang mengabaikan kewajibannya bahkan melakukan penyimpangan/pelanggaran merupakan ulah oknum semata. Oknum!!!!??? Jika hanya oknum, mengapa dari sekian banyak aparat hampir semuanya (80%) melakukan penyimpangan dari tupoksinya, disebut oknum apabila dari 100 orang aparat penegak hukum hanya 5 – 10 orang saja melakukan pelanggaran atau penyimpangan.


Suatu kenyataan, ketika seseorang mendapat ancaman kekerasan lalu melaporkan kepada yang berwajib (institusi dirahasiakan – ha..ha..ha..), apa yang terjadi? Pelapor tidak mendapatkan hak konstitusinya untuk mendapatkan rasa aman justru di ping-pong oleh sang berwajib untuk kembali esok hari. Apa yang terjadi pada keesokan harinya? Sang pelapor diminta untuk kembali pada esok harinya lagi... sangat melelahkan. Dan apa yang terjadi pada keesokan hari tersebut? Inilah babak yang membuat masyarakat (emosional) dan menyebut aparat berwajib sebagai penjajah terhadap rakyatnya sendiri. Pada hari tersebut sang pelapor terpaksa melapor peristiwa pengancaman kepada hierarki yang lebih tinggi (satu level) pada institusi yang sama. Pada hierarki yang lebih tinggi yang terjadi justru pembodohan dilakukan oleh seorang aparat penegak hukum kepada warga negaranya. Bukannya menerima laporan tindak pidana justru sang berwajib dengan pangkat perwira meminta sang pelapor untuk membawa seseorang yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan peristiwa tindak pidana. Bahkan kami harus beberapa kali memaksa untuk dibuatkan Berita Acara Perkara (BAP) dan meminta tanda penerimaan laporan, lagi terjadi... mereka mengabaikan kewajiban profesinya sebagaimana diperintah oleh undang-undang. Keanehan kembali terjadi, sang perwira justru merekomendasikan kami untuk melapor ke institusi diatasnya. Kami pun akhirnya mengikuti saran sang perwira tadi.


Sesampai kami di institusi yang direkomendasikan, kami lagi-lagi menjumpai hal yang sama. Sang bintara menerima kedatangan kami, lalu kami menyampaikan maksud kedatangan kami ke kantor “penegak hukum” dan menceritakan kronologi peristiwa pidana kepadanya. Dengan gaya yang angkuh sang bintara memaparkan bahwa peristiwa tersebut belum ada unsur pidananya, lagi... kami dibodohi oleh aparat penegak hukum. Lalu kami sampaikan bahwa peristiwa tersebut telah memenuhi unsur pidana karena pada saat peristiwa tersebut teman kami dipaksa untuk tidak melakukan sesuatu dengan disertai ancaman kekerasan. Sang bintara dengan santainya (atau mungkin juga ia seorang yang sangat bodoh) mengiyakan paparan kami. Selanjutnya karena ia mensetujui argumentasi kami, maka kami meminta sang bintara untuk membuatkan laporan dan memberikan tanda penerimaan laporan. Lagi-lagi dengan kebodohan sang bintara ia menyatakan tidak dapat membuatkan pelaporan karena harus berkoordinasi dengan atasannya (ha..ha...ha... mungkin juga ini merupakan upaya untuk melakukan negoisasi). Apa boleh buat... institusi di wilayah telah terkooptasi, teracuni oleh materi, tidak memberikan hak rakyat, pilihan terakhir kami berangkat ke ibukota propinsi menuju institusi penegak hukum untuk melaporkan peristiwa tindak pidana.


Di ibukota propinsi kami diterima dengan sangat ramah dan baik, tidak seperti terjadi diwilayah, laporan kami diterima dan kami pun diberikan tanda penerimaan laporan. Sungguh sangat ironis... apa sebenarnya yang tengah terjadi di wilayah?!. Apakah “perampokan” terhadap rakyat telah tersistematis dan terstruktur sedemikian rupa? Jangan heran apabila rakyat tidak pernah mengalami kesejahteraan karena kesejahteraan tersebut telah disabotase oleh aparat penegak hukum. Kita harus melawan mereka, mengalahkan mereka dengan cara apapun. Karena mereka salah satu faktor dari pemiskinan rakyat.


Namun ada sedikit harapan ketika sang kepala institusi tingkat propinsi memiliki kemauan yang kuat untuk mensterilkan internal institusi dari tikus-tikus dan perampok rakyat. Kita berharap sang kepala institusi tingkat propinsi bertahan lama di propinsi ini, kita akan dan harus mendukung beliau.


 


*) untuk sardjono, sudiro, dan juneadi yang mengabaikan kewajibannya, semoga sang khalik memberikan jalan kebaikan bagi kalian semua... amien. Stop mengabaikan hak-hak rakyat!!!

MASALAH LAGI

Setiap yang hidup akan mengalami dinamika. Kebahagiaan dan kesedihan serta keresahan adalah bagian dari perjalanan hidup. Persoalan hidup akan menjadi teman dalam setiap persinggahan diantara titik-titik dunia. Kadangkala persoalan hidup yang ada bukan merupakan kontribusi diri kita melainkan pihak lain yang memaksa dan membuat kita menjadi ‘sukarela’ untuk terlibat dalam pergulatan mengatasi permasalahan yang terjadi hingga mencari solusi atas peristiwa tersebut. Entahlah, jika ini disebut tragedi, memang terlalu berlebihan, guratan peristiwa ini adalah yang kedua kali, ini pun pihak lain yang melakukan, pertama terjadi setahun yang lalu dan untuk kedua terjadi kembali pada hari ini. Pokok permasalahannya hanya komitmen dan perasaan. Apakah sudah menjadi kebiasaan dari diri setiap manusia untuk mencari sesuatu dan mencoba serta memenuhi kebutuhan yang sebenarnya bukan merupakan kebutuhan primer? Mengapa juga orang mudah untuk menjadi “lupa” akan sesuatu yang ada di depan matanya, kewajibannya, memberikan hak kepada yang lainnya? Bahwa perjuangan yang sangat berat adalah perjuangan melawan lupa menjadi benar adanya!!!. Kita selalu berharap akan dijauhkan dari permasalahan hidup, kita akan selalu berdoa untuk menjadi orang yang bahagia dalam menjalani hidup. Entahlah.. dalam persoalan ini mungkin saja kesalahan yang ada karena terdorong oleh keinginan yang terlalu jauh, emosional, sehingga kita memahami masing-masing diri kita dan karenanya kita belajar serta menjadikan hikmah dalam pergaulan hidup, tata perilaku, dan norma serta kaidah yang berkembang dalam masyarakat.

*) untuk dia yang mencari pelarian hidup dan untuk mereka yang merampas kebahagian serta meciptakan linangan air mata. Jangan pernah mencederai milik yang lain dan jangan sekali-kali untuk bereksperimen.

PERGI LAGI

Satu lagi sahabat setia sekaligus tetangga rumahku yang selalu menghampiriku setiap kali aku berada di rumah, telah kembali kepada Allah SWT, ia tiada di dalam mobilku saat perjalanan menuju rumah sakit.


Ia adalah sahabat yang senantiasa mendatangiku untuk berdiskusi, apa saja, mulai dari kehidupan pribadinya hingga dinamika sosial politik yang menjadi pusat perhatiannya.


Kegigihannya mempertahankan sikap merupakan wujud perjuangannya dalam mencapai cita-cita perubahan dan pembaharuan sosial. Komitmen terhadap nilai kerakyatan selalu diucapkannya setiap kali berdiskusi denganku. Aku tahu, ia setia terhadap pedoman hidup yang menjadi sandarannya, ia bentangkan gagasannya menjadi gugusan kesadaran kolektif di lini kemasyarakatan.


Kini ia telah pergi.... meninggalkan cita dan harapan yang belum ia nikmati. Namun semangat berjuang dan idealismenya akan selalu memancarkan titik cahaya perubahan sosial.


Selamat jalan sahabat, kau telah pergi tapi semangat dan gagasanmu akan selalu hidup dalam dinamika sosial bangsa ini.

TERNYATA DIAM

Hari ini bertemu kembali, setelah dua hari yang lalu berdebat hingga menyebabkan kerenggangan dalam berinteraksi. Mungkin ia merasa bahwa saat yang lalu bertindak arogan tanpa melihat kapasitas dan kemampuan dalam dirinya. Aku sudah tak lagi bersemangat untuk terlibat dalam "operasi" yang mengandalkan kekuatan gagasan hanya karena aku menganggap ada diantara kami yang tidak lagi menjaga komitmen untuk menjalankan rencana yang telah disepakati. Terkadang orang seenaknya berucap dan yakin terhadap janjinya tanpa melihat dan menilai apakah dirinya mampu merealisasikan ide dan janjinya tersebut. Cukup... Ini saatnya aku untuk tidak terlibat secara penuh dalam "operasi' yang akan datang, kecuali jika dia-mereka memohon kepadaku untuk "membantu" dan aku akan membantu dengan "ala kadarnya".

JUAL..?!!! GUA BELI

Baru saja, setengah jam yang lalu, aku berdebat tentang konsep suatu hal yang harus segera diimplementasikan. aku memaparkan konsepku berikut metode dan segala kemungkinan yang terjadi. Namun untuk mengaplikasikan konsep tersebut aku membutuhkan perangkat yang harus dipersiapkan oleh tim, jika ini memang harus dikerjakan oleh tim.

Dia menantangku untuk memulai rencana tersebut secara konkrit, namun aku tak bisa begitu saja mengiyakannya, aku punya posisi tawar!! Sebenarnya aku siap, namun aku juga harus tahu sejauh mana kapasitas dia untuk menyiapkan perangkat yang dibutuhkan untuk kegiatan esok hari.

Aku mulai menantang balik, kapan ia siap untuk mempersiapkan perangkat tersebut? Di jawab olehnya jika aku siap maka dia pun siap.

Aku menerima tantangannya. Saat itu juga perangkat yang kumiliki segera ku aktifkan.

Setelah ia menyaksikan dan mendengar sendiri bahwa aku telah bergerak, aku mulai melihat wajah dia berubah, kaget!!! Ternyata ia tidak menyangka bahwa secepat itu aku segera mengoperasionalkan gagasanku.

Mulailah ia menunjukkan ketidaksiapannya (secara ekstrim : ia tidak memiliki kemampuan) untuk segera mengaplikasikan pandangannya seperti secepat aku menerima tantangannya.

Ketika ia mulai banyak berdalih, semakin aku muak terhadap pertanyaan dan justifikasinya.

Jika bicara maka perbuatan pun harus sama dengan ucapan.

Kekesalan ini muncul karena ia pada kenyataannya tidak mampu menjawab tantanganku.

Kini aku berada dipersimpangan, apakah aku harus berdiri dan bergerak bersama orang yang hanya mengandalkan gertak sambal ataukah aku harus menarik diri dari lingkaran yang selama ini aku berada didalamnya?! Aku harus memilih... Aku tahu dan memahami segala resiko yang akan kuhadapi.

Jika memang tak selaras maka harmoniskan, jika tak juga menjadi sinergi maka lepaskanlah agar ia menjadi selaras, harmonis dalam arenanya.