"PENJAJAH" BERSERAGAM

Sejak beberapa hari yang lalu hingga hari ini terasa begitu melelahkan. Mendengar seorang teman mendapat ancaman bahkan menjurus kearah kekerasan, lalu berikutnya disusul oleh datangnya kabar dari kerabat mengenai upaya pemerasan yang dilakukan oleh aparat hukum. Ya.... cukup melelahkan, lelah menghadapi situasi untuk melawan ‘ penjajah’ beratribut, berkedok penjaga rakyat.

Ini harus dituntaskan!!!.


Inilah ironi, hidup didalam negara hukum namun hukum hanya menjadi hiasan semata. Mengapa hiasan? Mereka yang menjadi aparatur hukum sebagian besar tidak menjiwai, tidak sadar (jika tidak mau disebut gila!), tidak memahami tugas pokok dan fungsi serta kewajiban profesinya. Apakah ini kesalahan institusi penegak hukum dalam melakukan rekrutmen, pembinaan, dan pemberian sanksi?.


Lupakan pertanyaan tadi, karena sulit bagi kita untuk menjawab bahwa perbuatan dan sikap aparat penegak hukum yang mengabaikan kewajibannya bahkan melakukan penyimpangan/pelanggaran merupakan ulah oknum semata. Oknum!!!!??? Jika hanya oknum, mengapa dari sekian banyak aparat hampir semuanya (80%) melakukan penyimpangan dari tupoksinya, disebut oknum apabila dari 100 orang aparat penegak hukum hanya 5 – 10 orang saja melakukan pelanggaran atau penyimpangan.


Suatu kenyataan, ketika seseorang mendapat ancaman kekerasan lalu melaporkan kepada yang berwajib (institusi dirahasiakan – ha..ha..ha..), apa yang terjadi? Pelapor tidak mendapatkan hak konstitusinya untuk mendapatkan rasa aman justru di ping-pong oleh sang berwajib untuk kembali esok hari. Apa yang terjadi pada keesokan harinya? Sang pelapor diminta untuk kembali pada esok harinya lagi... sangat melelahkan. Dan apa yang terjadi pada keesokan hari tersebut? Inilah babak yang membuat masyarakat (emosional) dan menyebut aparat berwajib sebagai penjajah terhadap rakyatnya sendiri. Pada hari tersebut sang pelapor terpaksa melapor peristiwa pengancaman kepada hierarki yang lebih tinggi (satu level) pada institusi yang sama. Pada hierarki yang lebih tinggi yang terjadi justru pembodohan dilakukan oleh seorang aparat penegak hukum kepada warga negaranya. Bukannya menerima laporan tindak pidana justru sang berwajib dengan pangkat perwira meminta sang pelapor untuk membawa seseorang yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan peristiwa tindak pidana. Bahkan kami harus beberapa kali memaksa untuk dibuatkan Berita Acara Perkara (BAP) dan meminta tanda penerimaan laporan, lagi terjadi... mereka mengabaikan kewajiban profesinya sebagaimana diperintah oleh undang-undang. Keanehan kembali terjadi, sang perwira justru merekomendasikan kami untuk melapor ke institusi diatasnya. Kami pun akhirnya mengikuti saran sang perwira tadi.


Sesampai kami di institusi yang direkomendasikan, kami lagi-lagi menjumpai hal yang sama. Sang bintara menerima kedatangan kami, lalu kami menyampaikan maksud kedatangan kami ke kantor “penegak hukum” dan menceritakan kronologi peristiwa pidana kepadanya. Dengan gaya yang angkuh sang bintara memaparkan bahwa peristiwa tersebut belum ada unsur pidananya, lagi... kami dibodohi oleh aparat penegak hukum. Lalu kami sampaikan bahwa peristiwa tersebut telah memenuhi unsur pidana karena pada saat peristiwa tersebut teman kami dipaksa untuk tidak melakukan sesuatu dengan disertai ancaman kekerasan. Sang bintara dengan santainya (atau mungkin juga ia seorang yang sangat bodoh) mengiyakan paparan kami. Selanjutnya karena ia mensetujui argumentasi kami, maka kami meminta sang bintara untuk membuatkan laporan dan memberikan tanda penerimaan laporan. Lagi-lagi dengan kebodohan sang bintara ia menyatakan tidak dapat membuatkan pelaporan karena harus berkoordinasi dengan atasannya (ha..ha...ha... mungkin juga ini merupakan upaya untuk melakukan negoisasi). Apa boleh buat... institusi di wilayah telah terkooptasi, teracuni oleh materi, tidak memberikan hak rakyat, pilihan terakhir kami berangkat ke ibukota propinsi menuju institusi penegak hukum untuk melaporkan peristiwa tindak pidana.


Di ibukota propinsi kami diterima dengan sangat ramah dan baik, tidak seperti terjadi diwilayah, laporan kami diterima dan kami pun diberikan tanda penerimaan laporan. Sungguh sangat ironis... apa sebenarnya yang tengah terjadi di wilayah?!. Apakah “perampokan” terhadap rakyat telah tersistematis dan terstruktur sedemikian rupa? Jangan heran apabila rakyat tidak pernah mengalami kesejahteraan karena kesejahteraan tersebut telah disabotase oleh aparat penegak hukum. Kita harus melawan mereka, mengalahkan mereka dengan cara apapun. Karena mereka salah satu faktor dari pemiskinan rakyat.


Namun ada sedikit harapan ketika sang kepala institusi tingkat propinsi memiliki kemauan yang kuat untuk mensterilkan internal institusi dari tikus-tikus dan perampok rakyat. Kita berharap sang kepala institusi tingkat propinsi bertahan lama di propinsi ini, kita akan dan harus mendukung beliau.


 


*) untuk sardjono, sudiro, dan juneadi yang mengabaikan kewajibannya, semoga sang khalik memberikan jalan kebaikan bagi kalian semua... amien. Stop mengabaikan hak-hak rakyat!!!

No comments:

Post a Comment